Dengan kurban online, seseorang hanya cukup transfer dana untuk kurban melalui lembaga tanpa melihat hewan kurbannya seperti apa dan dimana disembelihnya. Dalam kurban online, pengurban hanya mentransfer sejumlah uang, selanjutnya lembaga yang akan mengurus kurbannya dari pembelian hingga distribusi daging kurban.
Bagaimana pandangan Islam terkait hal ini?
Pada prinsipnya, kurban dengan memberikan amanah/kuasa kepada pihak lain itu diperbolehkan dengan memenuhi ketentuannya. Seperti, seseorang mentransfer sejumlah uang tertentu kepada lembaga zakat atau lembaga kemanusiaan untuk membelikan, menyembelih dan mendistribusikannya. Itu diperbolehkan dengan memenuhi beberapa ketentuan.
Kebolehan mewakilkan tersebut sesuai dengan sabda Rasulullah saw., dari Jabir: “Sesungguhnya Nabi saw. menggiring 100 ekor unta bersama beliau. Setelah itu, beliau berpaling menuju tempat penyembelihan dan menyembelih 63 ekor hewan kurban dengan tangan beliau sendiri, lalu menyerahkan kepada Ali, kemudaian Ali yang menyembelih hewan yang tersisa.” (Shahih Ibnu Hibban 9/327).
Dalam hadits tersebut, Rasulullah saw. pernah berkurban 100 ekor unta. Beliau menyembelih 63 ekor dan sisanya diwakilkan kepada sahabat Ali ra.
BACA JUGA: Koperasi Shakira Luncurkan Program “Nabung Berkah Dapat Hadiah”
Kebolehan tersebut sesuai dengan analogi (qiyas) al-Udhiyah dengan al-Hadyu yang boleh diwakilkan menyembelih. Tapi, karena transaksi dilaksanakan secara online dan rangkaiannya cukup panjang, kebolehan tersebut menuntut beberapa hal.
Pertama, nominal biaya yang dikirim oleh orang yang berkurban telah diterima oleh si penerima amanah dengan jelas (berapa nominalnya, jenis hewan kurban dan peruntukkannya). Seperti, fulan berkurban dengan cara transfer dana Rp. 20 juta melalui lembaga zakat B melalui m-banking mencantumkan angka tersebut dan menulis keterangan siapa pengurban, jenis hewan kurban, serta peruntukkan hewan kurban. Setelah berhasil, dana ditransfer dan mendapat konfirmasi dari penerima, ijab qabul telah terjadi.
Kedua, besaran nominal sesuai dengan ketentuan syariah (kambing satu orang, sapi dan unta tujuh orang, jika ada patungan seuai dengan kaidah tersebut). Hal tersebut merujuk kepada tuntunan syariah tentang jumlah pengurban untuk setiap jenis hewan. Seperti hadits dari Jabir bin Abdullah ra., ia berkata:
“Kami keluar bersama Rasulullah saw dalam keadaan haji, maka beliau menyuruh kami untuk bersyarikat dalam satu unta dan sapi masing-masing untuk tujuh orang.” (H.R Muslim). Apabila ada patungan, harus menyesuaikan dengan ketentuan tersebut.
Ketiga, kejelasan dalam perjanjian bahwa penerima amanah akan melakukan pembelian, penyembelihan, dan penyaluran secara detail. Hal itu baik dituangkan secara lisan atau tulisan, atau penawaran via platform yang disediakan oleh lembaga zakat dan disetujui oleh pengurban dengan transfer.
Keempat, saat pengurban mensyaratkan, pihak lembaga menyampaikan kepada pengurban terkait hewan kurban termasuk kepada siapa disalurkan dagingnya. Oleh karena itu, berkurban melalui lembaga yang amanah, resmi, profesonal, dan memiliki track record yang terpercaya itu menjadi sebuah keniscayaan. Karena kurban melalui transfer dan diwakilkan ini sangat tergantung pada amanah si penerima kurban, hewan apa yang dibeli dan disembelih, kapan dan diperuntukkan untuk siapa termasuk pelaporannya kepada pengurban saat mensyaratkannya.
Berdasarkan penjelasan tersebut, maka berkurban dengan syarat-syarat tertentu atau memberikan kuasa kepada pihak lain sah walaupun tidak melihat secara langsung pemotongan hewan dan pendistribusiannya.
Referensi: Ust Dr Oni Sahroni melalui Muamalah Daily, dilansir di Republika